Friday 29 January 2010

DO IT Brenda's Way!!...explorative, rich and inspiring....



‘Bagaimana para penari dapat menari dalam koreography yang ditampilkan dengan sangat baik?. ’Latihan….latihan…latihan….., dengan latihan membuat karya itu menjadi sempurna’. Begitu jawaban Brenda Way atas pertanyaan seorang penonton yang mengagumi koreography yang ditampilkan Jum’at malam (29 Jan 2010) di Teater Salihara.

Oberlin Dance Collective (ODC) tampil dengan kekuatan prima pada malam pertama tour Asia mereka di Jakarta. Dengan menampilkan 3 nomor tari, kedalaman intelektual koreography diperkuatkan dengan ‘fasih’nya eksekusi dan virtuositas gerak para penari, sehingga mampu meng’hipnotis’ penonton selama pertunjukan berlangsung. ‘Origin of Flight’, ‘Unintended Consequences: A Meditation’ dan ’24 Exposures’, memperlihatkan keragaman koreography dan style gerak yang sangat kuat dari group tari yang telah berusia 39 tahun ini. Didirikan pada tahun 1971 oleh Brenda Way, ODC sekarang menetap di San Fransisco sejak 1976. Program tour Asia ini terlaksana oleh DanceMotion USA, sebuah proyek yang didukung oleh Bureau of Educational and Cultural Affairs of The U.S. Department of State dan diproduksi oleh Brooklyn Academy of Music (BAM).

Gerak yang banyak berasal dari isolasi bagian-bagian tubuh yang tidak lazim didapatkan dalam perbendaharaan gerak ballet klasik menjadi awal dari ekplorasi gerak dalam karya tari yang ditampilkan malam itu. Getaran vibrasi dari pergelangan tangan, gerak bahu naik turun, isolasi dan putaran bagian tubuh di pinggul dan tubuh bagian atas serta penempatan bentuk tangan dibagian tubuh tertentu adalah contoh unik yang imaginative dalam koreography yang ditampilkan. Banyak pula gerakan ‘lifting’ yang mempunyai tingkat kesulitan tinggi. tapi dapat dikerjakan dengan sangat mulus oleh para penari ODC dengan cara yang dinamis dan jenaka. Hal ini menimbulkan kesan yang sangat ‘easy’, ‘light’ dan ‘entertaining’ tapi ‘high class’ atas penampilan kemampuan tehnik para penari.

Komposisi solo, tarian berdua, berpasangan dan group dalam tiga tarian tersebut juga memperlihakan keahlian sang koreographer dalam memanfaatkan ruang ‘black box’ di teater salihara. Musik dalam keseluruhan karya tari mempunyai kekuatan yang berimbang. Alunan musik terasa menyatu dalam gerak dan jiwa penari. Musik dan tari menjadi satu jiwa. Mengenakan kostum simple, seperti terusan pendek, t’shirt dan celana panjang, menjadikan tubuh penari leluasa bergerak, sehingga bentuk gerak dan koreography tampak detail mengalir bersih dan jelas. Kesatuan yang indah antara musik, gerak dan kostum menjadikan koreography yang ditampilkan harmonis dan imaginative.

Energi penari terpancar dalam kegembiraan, kekuatan dan romantisme sepanjang 26 menit dalam tarian ‘Origin of Flights’. Beberapa gerakan keseharian, seperti berjalan, lari dan mengayunkan tangan dengan cerdas tereksploasi dalam koreography ‘unintended consequences’. Kerampakan gerak oleh satu group penari disudut kanan panggung dan kesendirian penari solo di sudut lainnya berhasil menjadi klimak dan menutup karya ini dengan suatu kejutan yang menawan. Sedangkan formasi dengan gesture gerak menuju level yang semakin meninggi menjadi suatu ‘portrait’ atau ‘last pose’ penuh makna untuk mengakhiri tarian terakhir ’24 exposures’. Diiringi musik karya rekaman Mark O’Connor, Yo-Yo Ma dan Edgar Meyer, karya ini memperlihatkan grafik evolusi perjalanan artistik kelompok tari dibawah direktur artistic Brenda Way.

Tentu saja latihan dan latihan adalah keharusan bagi sebuah dance company. Tapi tanpa dedikasi, konsistensi, kecerdikan dan pemahaman akan tubuh, eksplorasi materi gerak dan gaya tari serta memiliki essensi aesthetika tinggi terhadap gerakan dan koreography tidak akan mampu bagi ODC untuk mempertahankan daya hidup dan eksistensinya dalam kancah seni tari di Amerika Serikat. Seperti ditulis di Dance Spirit Magazine (2007): ‘The pioneers: ODC dance. After Artistic Director Brenda Way founded ODC in Oberlin, OH, in 1971, the company moved to San Francisco in 1976 and the company has been influencing the modern dance scene in the city ever since. Its three resident choreographers: Way, KT Nelson and Kim Okada created a wealth invented repertory for the troupe of 10 outstanding dancers’.

Saturday 11 July 2009

JUMPER on HAYATI







HAYATI
choreography: Chendra Panatan
musik: METAdomus
penari: Maniratari, Solo & Kreativitat Dance Indonesia, Jakarta
TUK - 18, 19 Desember 2008

images on HAYATI

















HAYATI
choreography: Chendra Panatan
musik: METAdomus
penari: Maniratari, Solo & Kreativitat Dance Indonesia
TUK - 18, 19 Desember 2008

SIKO on HAYATI












HAYATI
choreography: Chendra Panatan
musik: METAdomus
dancers: Maniratari, Solo & Kreativitat Dance Indonesia, Jakarta
in picture: Siko Setyanto
TUK, 18 & 19 Desember 2008




Friday 10 July 2009

Schumann's Psychosis


Schumann's Psychosis for 3 pianos 12 hands
based on painting by Asep Berlian
Music composed by Ananda Sukarlan
Choreography: Chendra Panatan
Pianists from the winner of Ananda Sukarlan Award 2008
Dancers from Maniratari, Solo
Performed for Pianississimo - JNYC 2009

DRUPADI







The Humiliation of Drupadi

Music for 2 pianos composed by Ananda Sukarlan.
Choreography: Chendra Panatan.
Dancers from Maniratari Solo (Siko, Marich and Adis)
Performed for 'Pianossissimo' - Java's New Year Concert 2009
in Jogjakarta, 1 Januari 2009
in Jakarta, 4 Januari 2009

RIP Pina













‘Transformer’ handal telah pergi…….

Berita itu datang dari seorang teman di Eropa mengenai ‘perginya’ Pina Bausch ketika kita sedang menyaksikan film ‘Transformer’ di XXI (sabtu, 30 June 2009)

Sepanjang film, pikiranku berkelana tentang sosok Pina yang sangat kukagumi. Seorang koreographer hebat yang berhasil mengolah gerak menjadi ungkapan ekspresi serta emosi yang bermakna. Gerak keseharian terjalin menjadi suatu tarian yang sarat dengan ekspresi kemanusiaan: tentang cinta, seksualitas, kesunyian, ketakutan dan sisi gelap manusia lainnya. Menyaksikan karya Pina, merupakan cermin yang memantulkan pengalaman pribadi yang unik, jenaka, manis, ironis maupun sinis kedalam suatu frame panggung yang tertata secara theatrical naturalis dan memberi ‘impact’ yang dasyat.

Pina adalah transformer yang sangat jenius dan brilliant, sangat kontras dengan film ‘transformer’ yg ku’kunyah’ sekarang, terasa hambar, kering, keras dan berbau lempengan logam yang berlebih.

RIP Pina, karyamu adalah identitas serta monument abadi suatu ‘transformasi’ terbaik seni tari yang pernah aku rasa dan saksikan di planet ini.